Disini, aku ingin menceritakan sebuah dongeng indah berbalut ragu-ragu dan ketidak pastian. Tiga hari untuk selamanya.Â
Sebuah cerita tentang ‘tiga hari’ di negeri dongeng yang ku rangkum dalam satu cerita pendek berlatar Desa Utara. Menarik sang garis waktu yang telah mempertemukan aku dan kau, dalam sebuah lakon cerita dunia.Oh iya, sebelum lanjut membaca, coba cari lagu : 3 Hari untuk Selamanya – Float, lalu putar sembari membaca dongeng ini. Hehe
Siapa Cinta Pertamamu?
Entah berapa banyak yang datang dan pergi dalam hidupku. Kau pernah bertanya : siapa cinta pertamamu? Dengan tegasku jawab : mungkin aku belum pernah benar-benar jatuh cinta. Tertarik mungkin. Dan kau salah satu lelaki yang mampu menarik ku keluar dari zona aman. Laki-laki yang sebenarnya (mungkin) bukan’tipe’ ku. Hehe. Tapi cukup nyaman untuk ku sandari.
Aku hanya takut cerita tentangmu akan terlupakan bila tak aku tulis. Aku takut kau akan hilang tergerus oleh pemikiran-pemikiran baruku seperti yang sudah-sudah. Biar ku kenang kau menjadi sesuatu yang berbeda. Biar proses ini kelak dapat kubaca di teras rumah sembari menikmati senja dan secangkir kopi, dengan bahagia.
Jadi, izinkan aku menulis tentangmu lagi. Ku harap tak akan ada cerita tentangmu setelah ini. Silahkan kau baca cerita ini di depanku hingga wajahku bersemu merah karena malu. Tak mengapa, asalkan setelah itu aku bisa melanjutkan hidup dengan lega tanpa ada yang menggantung.
Dan cerita itu bermula disini
________
Jadi benar, perpisahan yang sebenarnya terjadi tanpa kata selesai, tanpa ada kalimat ‘hati-hati di jalan’, ‘semoga kamu selalu bahagia’.Â
Tapi saat kita kehilangan kata ‘halo’ yang biasanya sangat mudah kita ucapkan di pagi hari.
Ketika pada akhirnya secara perlahan kita berjalan berlawanan arah tanpa aba-aba.
Terjadi tanpa kalimat ‘aku akan merindukanmu’
Saat itu akan datang tanpa kalimat ‘sampai jumpa’
Tanpa ‘perpisahan’
________
25 September 2017
Berawal dari udara yang membisikan sebuah nama coffee shop, kau ikut dalam perbincangan singkat itu. Hanya beberapa kalimat tak bermakna mungkin. Entahlah aku tak ingat detailnya. Aku kira semua berakhir saat itu. Tapi nyatanya kau bernyali untuk meminta nomor telponku pada teman seperjalananku kala itu. Dasar lelaki (beristri) ganjen, pikirku.
3 Maret 2018.
Pesan pertama darimu masuk dan rentetan percakapan random itu dimulai. Pada akhirnya percakapan itu membawaku kembali ke kotamu. Kota cantik dimana peradaban seakan tak mampu merobohlan tiang-tiang sejarah. Kota dimana moderinisasi tak merusak alam dan kehidupan adat masyrakatnya. Aku masih bisa melihat anak-anak SD pulang sekolah berjalan kaki menyusuri sawah dengan diiringi canda tawa, tanpa menenteng gadget.
Subuh, 23 Agustus 2018
Ternyata baru 11 bulan sejak pertama kali aku mengunjungi kota ini, sejak pertama kali kita bertemu di dalam bis antar kota yang mengantarku pulang setelah tualang panjang, 12 jam. Kau bilang : mba half day traveller.
Awalnya aku pikir tak akan ada hal besar yang akan terjadi selama 3 hari di kota ini. Tapi Jum’at terakhir di bulan Agustus itu telah merubah semua perkiraan dan cerita yang kelak akan aku tulis. Aku pikir kau akan berwujud ‘teman biasa’, seperti teman-teman lain yang aku temui di kota lain. Walaupun aku tau beberapa bermain perasaan, tapi (sungguh) aku tak ingin menyisakan cerita tentang ‘baper’ di kota orang. Karena siapa tau aku jatuh cinta dengan kota itu dan ingin berkunjung lagi, sebuah hasrat ‘baper’ hanya akan menyisakan ketidak nyamanan dalam sebuah perjalanan.
Aku masih bisa mencium aroma segar punggungmu yang ku sandari selama beberapa hari kemarin. Harum
Bahkan beberapa detik terakhir sebelum perpisahan kita masih jelas terekam dalam ingatanku. Kau adalah penggalan cerita ‘lain’ yang kutemui saat napak tilas. Tak seperti yang lainnya, kau ternyata cukup menarik untuk ku sentuh. Kau cukup mampu membuatku nyaman. Entah karena sikapmu yang ‘manly’, atau karena hal-hal manis yang kau ucapkan. Atau, karena hal magis seperti yang kau katakan sepanjang perjalanan di hari terakhir beserta godaanmu. Hahaha
Andai kau membaca tulisan ini, aku yakin kau akan tersenyum puas. Atau menganggapku ‘wanita bodoh’ yang mudah terpikatdan percaya pada semua kata-kata manismu.
Untuk ukuran orang baru, kau berhasil mengacau beberapa tatanan dalam kebiasaan ku. Kau berhasil memporak-porandakan ego wanita ku. Hahaha. Nyaris membuat ku galau. Untung seperti kata dia : kudu strong.
Sayang, atau apalah itu, ternyata aku tak akan siap dengan perubahan yang terjadi kurang dari 24 jam. Aku tak akan siap menerima pernyataan yang sebenarnya aku tau pasti tapi aku tak siap mendengarkan langsung dan aku tak akan siap menerima perlakuan manis yang bahkan masih bisa aku ingat hingga saat ini.Bagaimana bisa kau memainkan peran ini?
Menyatakan kau menyukaiku di Sabtu pagi terakhir bulan Agustus, sambil memeluk untuk berbisik : aku akan merindukanmu, lalu berubah dingin pada sore itu dengan dalih : lagi banyak pikiran, kamu pikir aku tidak memikirkanmu yang akan pulang? Bahkan nahasnya, kau seakan tak terjangkau di hari Minggu terakhir bulan Agustus kala itu. Dengan getir, ku angkat ransel merahku untuk pulang. Berakhir sudah pikirku kala itu, yang ternyata di aamiini oleh sang waktu.
Bolehkah aku melepasmu? Sekarang?
Agar kau tak perlu membuang waktumu untuk datang kemari dan meneruskan ucapan manismu yang mungkin saja masih bisa membuaiku. Atau memang kau sudah melepasku sejak aku beranjak pergi dari kota itu? Ah bisa saja memang sudah selesai sejak saat itu. Aku saja yang bodoh masih percaya dan sedikit berharap pada kata manismu.
Sayang sekali, ternyata ‘perasaan’ mampu merobohkan dinding persahabatan yang dari awal ku coba bangun. Saat kau bersikap hangat, saat kau kecup kening ku malam itu, aku tau semuanya sudah berubah. Terlebih saat kau berjanji akan mengunjungi di bulan September. Harusnya kau tak perlu mengatakan apa-apa yang tak bisa kau selesaikan. Dan aku menyesali telah sedikit menanam percaya pada semua kalimatmu. Tak seharusnya aku membiarkanmu membuaiku dan akhirnya membuatku tak nyaman untuk kembali kesana.
3 Hari untuk Selamanya
Terimakasih untuk jok motor yang menampungku selama 3 hari kemarin, terimakasih untuk punggung yang bisa ku sandari dan ku gigit saat mendengar bullyan mu, untuk jaket yang memelukku erat saat hujan, untuk pinggang yang bisa ku cengkram erat selama perjalanan terjal dan licin, untuk tangan yang menggandeng ku saat menaiki jalan menanjak (sebenernya aku cukup mampu untuk jalan sendiri hahaha), untuk lengan kekar (kau protes kata ini saat kau video call untuk menanyakan kenapa artikel tentangmu lenyap dari blogku, sudah ku post ulang kok) yang memelukku kala hujan malam itu di teras hostel sebelum kamu pulang atau siang hari sebelum aku pulang sembari berbisik ‘aku akan merindukanmu’ (kupikir kalimat itu tulus) dan untuk semua kata-kata manismu yang aku tak tau apakah itu madu atau racun. Terimakasih telah mengajakku berkeliling. Sudah membiarkan ku singgah sejenak, merebahkan lelahku, merindukanmu walau sesaat dan meninggalkan bekas lipstick di jaketmu.
Oh, dan terimakasih untuk kecupan di keningku. Kamu adalah cerita manis dalam perjalananku. Terimakasih telah menjadi teman perjalanan yang luar biasa.01 Oktober 2018
Aku tidak suka berada di titik ambigu. Dimana aku tak berhak khawatir, tapi juga tak bisa mundur dan melupakanmu begitu saja.
Aku belum perlu menghampirimu bukan? Akankah berlebihan bila tiba-tiba aku berada di hadapanmu? Ataukah perlu? Hahaha
Ah sudahlah. Pada akhirnya kita hanya punya dua pilihan : melepaskan atau dilepaskan
Hanya saja aku sedikit kecewa. Kecewa pada diriku sendiri yang bisa semudah itu runtuh hanya karena panggilan telponmu, padahal aku sudah memacu motorku ratusan kilo dari rumah untuk meneriakan namamu di tengah hutan : kita selesai, selamat tinggal. Benci pada keadaan dimana aku tak bisa berbuat banyak. Pada kenyataan bahwa kamu tak memberikan petunjuk apapun selain sikap mu yang berubah dingin. Benci ego yang setinggi gunung yang gengsi untuk bertanya tentang kelanjutan cerita ini.
Bukan seperti ini harusnya kau menjalankan apa yang kau mulai. Bila awalnya kau bisa berbicara, kenapa diakhir tak satupun kalimat yang kau ucap? Harusnya kau mengatakan dengan lugas. Walaupun aku bisa menerka, langkah mana yang saat ini sedang kau ambil, tapi aku lebih bahagia bila kau mampu berujar seperti saat kau meminta untuk memulai.
Kau tau, bahkan film terbaikpun harus berakhir walau akhirnya tak bahagia.
Andai semudah kalimat yang aku rapalkan bagai mantra, bahwa : tak usah kau pikirkan dia, toh banyak hal yang membuat kalian tak akan bersama, jarak misalnya, kalian tak akan bertemu lagi. Kau tau, satu-satunya yang masih membelamu hanyalah : perasaan. Sedang logika ku, dia hanya menjagaku tetap waras.
Kau lebih senang memberikan kode, padahal dialog lebih memberikan titik terang. Kau lebih suka menghilang, padahal pertemuan lebih memberikan gagasan. Bukan hanya pertemuan fisik, tapi tatap muka antar grafis tak mengapa.
Aku bukan golongan wanita yang bisa selesai tanpa penyelesaian tanda tanya.
Jadi, bicaralah 🙂
Agar aku mahfum dimana aku harus menempatkan kamu saat ini.
5 Oktober 2018
Aku tidak memiliki kata yang sepadan untuk mengakhiri. Namun pada suatu masa, debaran jantung itu pernah berarti sesuatu, genggaman tangan itu pernah merangkai sesuatu dan pandangan itu pernah menyiratkan sesuatu. Walau pada akhirnya aku tak pernah tau, makna dari semua sikapmu. Ah mungkin kau tak cukup ‘manly’.Â
Ada kalanya aku rindu pada chat malam Sabtu terakhir bulan Agustus kala itu. Ketika kau berubah menjadi sosok yang (seakan) tergapai. Sosok manja yang belumku temui sebelumnya. Diam-diam aku bahagia dengan hal kecil seperti : chat random yang berlangsung terus hingga salah satu dari kita tertidur. Lalu telpon manja darimu di pagi hari yang nyaris berlangsung hingga 1 jam lamanya, padahal kita akan bertemu (setelah kau mandi dan beranjak dari drama setelah bangun tidurmu yang membuatku gemas dan ingin mencubit perutmu). Jika Sabtu pagi terakhir di bulan Agustus itu kau bisa memanggiku ‘sayang’ dan menganggap kita telah sepakat untuk menjalani ‘hal rumit’, kenapa sekarang tidak kau selesaikan hal yang kau mulai itu? Katakan dimana letak salahnya, dimana letak aku harus berdiri sekarang.
Kadang aku berpikir : ada milyaran manusia di bumi ini, tapi kenapa Tuhan menitipkan rasa nyamanku padamu? Manusia yang tak bisa berada disebelahku untuk ku lihat sewaktu-waktu.
Katamu bila aku rindu, tinggal video call. Tapi jariku kelu untuk mengatakan aku rindu. Mungkin karena aku lebih memilih menulis ketimbang berbicara. Mungkin karena aku lebih suka dunia jurnalis ketimbang mengudara di radio. Dua dunia yang membesarkanku hingga aku nyaman dengan media elektronik.
Mungkin kau dan aku bukan ditakdirkan untuk bersama dan jatuh hati. Hanya untuk berjalan berdua dalam satu tempat yang sama hingga sang waktu berjalan melambat dan kelak kita akan berpisah atau bertemu lagi.
Dari sini aku berhenti mengutuk kenapa kita tinggal ditempat berbeda yang begitu jauh dan mulai mensyukuri jika kelak kita akan berjumpa lagi dengan perjumpaan yang lebih indah. Aku masih berusaha menjaga rindu yang pernah kita janjikan, ku harap kaupun begitu.
Teruntuk kamu seseorang di kejauhan, jarak bukanlah hitungan jauh, hanya sebuah angka. Sedang rindu adalah koma yang bercerita tentang kalimat kau dan aku.
Sabtu di bulan Agustus
Aku mahfum, kau mungkin mempunyai beberapa pertimbangan kenapa tak kau lanjutkan segala yang kau mulai hingga berakhir menggantung seperti awan yang tak kunjung melepas hujan. Tapi, bicaralah, seperti katamu telpon atau video call. Untuk terakhir kalinya, untuk menerangkan yang saat ini abu-abu.
cerita jatuh cinta dalam bis
Kau pernah menjadi pusat semesta ku walau sesaat
Sekarang kita adalah dua orang asing dengan beberapa penggalan kenangan
Kau memberi harapan, lalu kau pergi tanpa satu kalimat penjelasan.
Aku hilang bukan berarti tak ingin dicari.Â
Kita yang awalnya seribu rencana, hingga akhirnya diam seribu bahasa.
Terimakasih pernah membuatku tersenyum lebih lebar ketika semilir angin pegunungan karts menerpa wajahku; membuat jantungku berdebar lebih kencang saat menyusuri jalan di desa yang dikepung alam hijau; membuat rinduku pada kotamu lebih kuat ketika aku sadar kau pernah berwujud’rumah’. Sungguh jarak hanya perkara angka, sedang debaran tak terbatas jumlahnya.
Pada akhirnya, aku tau
Bahwa semua kata-katamu hanyalah bualan untuk anak kecil. Hanya sebuah rayuan dan delusi.
Terimakasih atas pelajarannya. Di lain waktu, aku akan lebih belajar untuk memakai logika ketimbang rasa nyaman.
Desember, 2018
Akhirnya kulangkahkan kaki ku kembali ke kota ini. Pagi itu, aku beranikan diri mengirim pesan untukmu.
Sini om. Tulisku di kolom chat Line.
Dan kau membalas : Loh jadi ke sini? aku lagi di luar kota.
Akhirnya, sampai satu minggu aku di kotamu, tak ada pertemuan denganmu. Aku pun mulai mengubur apapun yang aku sebut sebagai harap.
Januari, 2019
Setelah beberapa hari chat terakhirmu menggantung di kolom chat tanpa aku read, malam tahun baru aku memutuskan untuk membalas chatmu. Awal baru pikirku. Tapi ternyata aku melakukan kesalahan. Harusnya, aku menghilang saja.
Setelah chat malam tahun baru itu, kau berubah menjadi sosok yang selama ini aku cari. Kau mengatakan semua hal dengan lugas. Tentang apapun bernama ‘rasa’. Kau mulai mencari ku, kau mulai menjadi ‘rumah’, kau membuat ku tertawa lepas, kau membuat ku ‘rindu’, kau membuatku ingin cepat kembali ke kotamu.
Lalu aku mulai mengenalimu lagi. Harusnya aku kembali di pertengahan Januari. Tapi, kau bilang ‘nanti setelah keadaan sedikit lebih baik’. Padahal, awalnya, kau yang meminta.
Februari, 2019
Aku mulai lelah mengejarmu. Kau berubah menjadi tak terbaca lagi. Aku tak bisa menebak apapun tentangmu. Kau menjadi janggal. Dan aku mulai mengasihani diriku sendiri yang membiarkan berharap lagi pada orang dengan ego setinggi gunung ‘es’.
Andai kau lebih sederhana. Berkata rindu saat rindu, tak suka saat tak suka, marah saat marah. Mungkin semuanya akan lebih bisa aku baca.
Akhirnya kata itu terucap : terimakasih.
Penutup cerita tujuh bulan yang penuh drama. Aku yang bermain drama. Entah kau ada di dalamnya atau hanya delusi. Kau bukan rumah.
Maret, 2019
Aku hanya ingin kembali. Entah untuk alasan apa. Intinya aku hanya ingin kembali. Mungkin untuk mengembalikan perasaan yang pernah singgah. Untuk memulangkan harap yang pernah ada saat aku berpetualang.
Dan pagi itu aku bertemu denganmu. Menatapmu untuk terakhir kali. Meyakinkan diri bahwa : dia bukan rumah. Awalnya, aku masih menyelipkan harap. Tapi chat terakhir darimu telah membawa kesadaranku pada tempatnya. Saatnya pergi, pikirku. Akhirnya aku meninggalkan hiruk pikuk kota, melepas rencana dan menetap di negeri atas untuk mencari logika.
Pada akhirnya, ku temukan ‘rumahku’ di negeri atas. Desa dengan pemandangan luar biasa yang mengurungku untuk tak pernah menemuimu lagi. Desa dengan kejutan yang luar biasa. Membawa pada banyak cerita baru tentang kota ini.
Kata ‘hai’ darimu kala September 2017, adalah ‘awal’ dari perjalanan dan jatuh cinta pertama ku. Bukan pada ‘sosok manusia’ tapi pada benda bernama ‘Desa Utara’.
Cerita tentangmu, berakhir disini. Aku sudah menyelesaikan tulisan ini. Dan rindu itu telah ku kembalikan pada tempatnya. Pada harap yang tak ingin aku ambil lagi.
Jadi, selamat menjadi cerita Om.
PS
Peluk dari jauh
Lilpjourney FollowSeorang travel blogger Indonesia yang suka jalan-jalan menyusuri keindahan alam berbalut adat dengan aroma secangkir kopi.